Nationalgeographic.co.id - Temuan-temuan terbaru di bidang kesehatan membuat manusia bisa memperpanjang angka harapan hidupnya lebih tinggi dari sebelum-sebelumnya. Tetapi, pemahaman ini mengabaikan faktor eksternal seperti perubahan iklim dan pemanasan global yang menghantui kita di abad ke-21.
Hal itulah yang diperingatkan oleh PBB lewat laporan terbaru Intergovermental Panel on Climate Change (IPCC). Manusia dapat beradaptasi dengan suhu yang kian memanas dibandingkan masa pra-industri tetapi tidak untuk dunia alami.
"Kami tidak mengikuti. Laju perubahan iklim lebih cepat daripada kemampuan kita untuk mengetahui bagaimana perubahan iklim", terang Michael Oppenheimer, ilmuan iklim dari Princetown University yang terlibat dalam penulisan laporan dan Science.
Pemanasan global diketahui membuat beberapa ekosistem mendekati batas kemampuan mereka untuk beradaptasi, termasuk terumbu karang air hangat, hutan tropis, hingga kondisi lingkungan di pegunungan dingin dan kutub.
Akan tetapi, perubahan iklim membawa masalah kesehatan bagi manusia. Laporan itu menuliskan, konsekuensi yang kita tanggung jika kita gagal mengambil tindakan akan parah dan memperburuk ketidakadillan sosial.
"Ada kesenjangan adptasi", kata Oppenheimer. "Pemerintah lebih banyak basa-basi daripada benar-benar melakukan banyak hal".
"Sangat mendesak untuk kita untuk menigkatkan investasi dan memperkuat sistem kesehatan kami," kata Kristie Ebi, salah satu penulis laporan dan pakar kesehatan global dari University of Washington pada National Geographic.
"Kita sudah melihat orang mati karena perubahan iklim, dan jika kita tidak beradaptasi, lebih banyak orang akan mati." Besar-kecilnya dampak akan sangat bergantung pada kondisi sosial yang mendasari seperti kemiskinan, kesehatan, dan pemerintah, tulis laporan IPCC.
Direktur Joint Global Change Research Instute sekaligus salah satu penulis laporan, Brian O'Niell, menambahkan, jumlah orang yang dipaksa jatuh miskin selama rentang waktu 15 tahun akibat perubahan iklim dapat berkisar 10 juta hingga 100 juta. Semua tergantung pada kerentanan mereka dan lahan mereka.
Laporan tersebut mencatat bahwa panas yang ekstrem menjadi lebih intens di kota-kota, secara substansial meningkatkan risiko kematian akibat panas bagi penduduk lingkungan berpenghasilan renda terutama bagi individu yang tidak memiliki rumah.
Mempersiapkan perubahan ikim bukan hanya soal membangun tembok laut atau sistem irigasi, tulis laporan. Kebanyakan proyek untuk adaptasi dengan masa depan saat ini justru berskala kecil, terfragmentasi, dan hanya berfokus pada jangka pendek.
Sebagian besar proyek adaptasi yang dilakukan pemerintah berfokus pada proyek terkait air seperti tanggul dan sistem peringatan banjir,, restorasi lahan basah pesisir, konservasi kelembaban tanah untuk pertanian, dan pelindungan garis pantai padahal, O'Niell berpendapat "yang sama pentingnya adalah meningkatkan konsisi kehidupan di seluruh dunia."
Selain itu pula, sepertiga dari populasi dunia saat ini berdampak tekanan panas. Walau peningkatan emisi tak bisa terhindari, semua bergantung pada tindakan yang diambil untuk membatasinya. Diprediksi emisi akan terus meningkat dari 48 hingga 76 persen dari populasi yang diproyeksikan untuk tahun 2100.
Secara kesehatan, vektor penyakit seperti nyamuk mendapat manfaat dari usim hangat yang lebih lama dan jangkauan lebih meluas akibat pemanasan. Hal ini berisiko bagi penyebaran penyakit yang dihasilkan nyamuk seperti DBD dengan cakupan lebih luas.
Pemahaman tentang perubahan iklim menyebabkan penyakit bukanlah pertama kalinya dipahami, Para ilmuan juga mendapati bahwa virus tersebar seperti pagebluk COVID-19 disebabkan oleh perubahan iklim, yang diskenariokan dalam kabar sebelumnya di National Geographic Indonesia. Penyakit zoonosis bisa tertular akibat interaksi manusia dengan hewan yang telah kehilangan habitatnya atau bermigrasi akibat peningkatan suhu global.
"Orang-orang sekarang menderita dan sekarat akibat perubahan iklim," lanjut Ebi.
Untuk pencegahan, selagi perubahan iklim menjadi semakin mematikan, pemerintah harus menciptakan perawatan kesehatan dan tata kota yang lebih kuat untuk menyelamatkan banyak jiwa, tulis laporan IPCC.
Selain perawatan kesehatan yang kuat, para ilmuan yang menuliskan laporan IPCC menyerukan agar aksesnya juga harus dibuat, dan pembuatan rencana darurat panas.
Salah satu yang disarankan adalah penggunaan sistem pengingatan dini yang memiliki prediksi cuaca terperinci. Menurut laporan, alat itu dapat digunakan oleh lembaga kota dan pemerintah daerah untuk membantu orang berencana akan cuaca ekstrem dan mencari sumber daya yang dibutuhkan.
"Kita akan dilanda gelombang panas, kemudian kebakaran hutan, kemudian listrik padam, dan kemudian akan terjadi lagi," ujar Jeremy Hess, rekan penulis laporan dan seorang peneliti kesehatan di University of Washinton. "Kedengarannya apokaliptik, tapi itu benar".
Semua hal itu bisa dilakukan sambil memperkuat pelestarian alam dengan pemulihan hutan, membantu migrasi spesies terdampak, dan melindungi daratan dan perairan untuk menciptakan ruang bagi spesies untuk beradaptasi.
Sumber:
Climate-change-could-trigger-a-cascade-of-extinctions-domino-effect.jpg (1240×977) (earth.com)
Dampak Perubahan Iklim Begitu Nyata tapi Minim Penanganan Pemerintah - National Geographic (grid.id)