contact@labmedio.co.id 021 22229988
March 04, 2022 - OLEH Admin

Trend NFT Berpotensi Merusak Lingkungan

Jakarta - Kehadiran Non-Fungible Tokens (NFT) semakin booming di kalangan netizen global. Bahkan di Indonesia sendiri baru-baru ini, masyarakat sempat dihebohkan dengan sosok Ghozali yang mendadak sukses lewat penjualan NFT foto selfi-nya di Opensea.


Bermodalkan koleksi foto selfie sejak 2017-2021, Ghozali berhasil cuan besar lebih dari 900 NFT, bahkan yang termahal dihargai 66.346 ETH atau sekitar 2,3 triliun.


Namun tahu kah kamu, ternyata trend NFT ini berpotensi merusak lingkungan. Kok Bisa? Yuk simak penjelasannya dibawah ini.


"Sederhananya, NFT merupakan token digital unik yang dibentuk melalui serangkaian transaksi komputer yang dapat memberikan seseorang kepemilikan sebuah karya seni, seperti vidio, lagu, atau gambar.


Melansir dari brightly, Senin (7/2/2022), sama seperti cryptocurrency pada umumnya, produksi NFT ini dilakukan menggunakan perangkat blockchain serta penggunana komputer khusus ntuk menyelesaikan algoritma kompleks (dikenal dengan istilah mining/penambangan).


Perangkat ini ternyata menguras energi listrik lebih banyak dari biasanya. Karenanya.baik itu NFT ataupun cryptocurrency seperti Bitcoin Cs, mereka mereka berdua menggunakan banyak energi.


Berdasarkan sebuah studi tahun 2018 yang diterbitkan di Nature Climate Change menemukan bahwa emisi Bitcoin saja dapat meningkatkan suhu bumi hingga dua derajat. Hal ini disebabkan oleh proses penambangan Bitcoin yang menghasilkan sekitar 38 juta ton CO2 per tahun.


"Bitcoin adalah blockchain proof-of-work, yang berarti ia menggunakan mekanisme konsensus proof-of-work (PoW) untuk mengamankan blockchain dan memverifikasi transaksi, PoW berarti para penambang bersaing satu sama lain untuk menambang satu blok," kata Susanne Kohler, rekan PhD dan penelitian teknologi blockchain berkelanjuta di Unversitas Aalborg di Denmark.


"Dalam kompetisi ini, komputer khusus menghasilkan beberapa triliun tembakan per detik untuk dicoba dan menang. Anda bisa menyebutkan pendekata brute-force. Ini yang membutuhkan banyak listrik," sambungnya.


Sebagai gambaran, jejak karbon harian Bitcoin setara dengan menonton 57.000 jam video YouTube. Dan, penggunaan listrik hariannya setara dengan jumlah daya yang digunakan rata-rata rumah tangga Amerika selama 25 hari.


Dampak lingkungan dari NFT pun serupa dengan yang diakibatkan oleh penambangan bitcoin tadi. Hal ini dikarenakan teknologi NFT juga menggunakan transaksi komputer intensif energi untuk mengontentikasi dan menjual karya seni.


"NFT memerlukan transaksi di blockchain-untuk membuat NFT, menawar, membayar NFT setelah memenangkan penawaran, atau mentransferkan kepemilikan," kata Kohler.


"Jadi, Anda dapat mengaitkan bagian transaksi yang dibutuhkan NFT dengan bagian konsumsi listriknya dan mengaitkan jejak lingkungan. Dengan meningkatnya minat pada NFT dan lebih banyak orang yang membeli dan menjual NFT, dampak terkaitnya meningkat," jelasnya lagi.


Energi yang digunakan untuk transaksi ini juga merupakan masalah. Seperti yang dikatakan Kohler, para penambang umumnya diberi insentif untuk menggunakan lisrik murah untuk memaksimalkan keuntungan (seperti bahan bakar fosil).


Selain itu, dikatakan juga bahwa menggunakan komputer khusus untuk menambang yang dapat menjadi tidak menguntungkan dalam beberapa tahun menciptakan limbah elektronik dalam jumlah besar. Jadi baik itu cryptocurrency ataupun NFT dapat berpotensi merusak lingkungan secara masif dan global.


Meskipun NFT jelas saat ini memiliki dampak lingkungan yang besar dan kuat, Kohler mengatakan ada beberapa cara bagi mereka untuk menjadi lebih berkelanjutan di masa depan. Dimulai dengan mengurangi dampak dari blockchain yang digunakan.


"Sebagian besar NFT beroperasi di Ethereum, yang merupakan blockchain proof-of-work. Ethereum beralih dari proof-of-work ke proof-of-stake untuk mengamankan blockchain mereka dan memverifikasi transaksi, yang oleh asosiasi akan membuat NFT lebih berkelanjutan," katanya.


"Namun, ini bukan tugas sepele dan membutuhkan waktu. Menggunakan (blockchain non-Pow) yang berbeda juga dapat mengatasi hal ini," jelasnya lagi.


Cara kedua agar NFT menjadi lebih berkelanjutan adalah dengan mengurangi jumlah transaksi yang mereka butuhkan di blockchain.


"ini dapat dilakukan dengan membangun 'lapusab 2', yang berarti tidak setiap transaksi harus berada di blockchain", kata Kohler.


"Misalnya, lelang dapat sepenuhnya diadakan di luar rantai pada lapisan 2, dan kemudian diserahkan ke blockchain sebagai batch. Ini adalah solusi yang bisa diterapkan lebih jangka pendek," sambungnya.


Tetapi di dunia di mana sebagian besar produksi energi masih berasal dari bahan bakar fosil, para kritikus mengatakan cyptocurrency dan NFT akan terus berkontribusi terhadap pemanasan global jika perubahan tidak segera terjadi.




Sumber:

Picture by starline - www.freepik.com